Setelah media elektronik merajai di hampir seluruh sendi kehidupan kita, maka mulailah bermunculan keluhan tentang menurunnya minat baca anak. Anak-anak kita yang manis dan polos, lebih betah berjam-jam memelototi layar televisi daripada membuka-buka buku, buku apapun, baik pelajaran maupun hiburan. Atau lebih enjoy berteriak-teriak dengan Play Station sampai serak dan lupa sekelilingnya.
Lalu banyak alasan dimunculkan. Menurunnya minat baca anak, katanya, karena harga buku mahallah, karena buku susah didapatlah, karena perpustakaan jaranglah, dan banyak lagi alasan untuk membenarkan kemalasan anak-anak membaca buku. Padahal kalau dilihat dari segi harga, sekali makan di Mc D kayaknya lebih mahal daripada harga sebuah buku bacaan anak-anak. Toko bukupun perasaan banyak, malah pengunjungnya dan yang membelinya yang kurang. Dan perpustakaan, olala, sangat menyedihkan, karena sekarang banyak perpustakaan, termasuk perpustakaan sekolah, merana karena kurang pengunjung. Buku-buku yang berderet-deret di rak, lebih banyak rusak karena debu daripada karena banyak dipegang atau dibaca. Dan hasilnya, terciptalah generasi yang jauh dari buku, yang semakin tidak mengenal budaya membaca. Padahal, pepatah yang sudah karatan karena saking udah lamanya beredar mengatakan, gudang ilmu adalah buku dan kuncinya adalah membaca.
Sebagai seorang ibu di rumah dan seorang guru di sekolah, tentu saja saya sangat prihatin dengan kondisi ini. Berbagai upaya saya coba. Misalnya, saya selalu membawakan oleh-oleh buku bacaan buat anak setiap kali pulang bepergian. Saya juga selalu membiasakan membaca di rumah, sesibuk apapun kebiasaan ini jarang ditinggalkan, dan selalu mengajak serta anak-anak ikut membaca berjamaah. Tapi ya itulah, membaca sangat susah untuk menjadi budaya dalam kehidupan anak-anak saya. Setiap ada waktu luang, dia lebih memilih melotot di depan TV, daripada membaca.
Begitupun di sekolah. Saya sering mengorbankan jam pelajaran di kelas, untuk menyuruh anak membaca di perpustakaan. Atau saya bawa majalah setumpuk, untuk dibaca anak-anak di kelas. Tapi sayangnya, mereka hanya membaca untuk mengerjakan tugas saja. Maksudnya, kalau mereka disuruh membaca saja, tanpa dibebani tugas, mereka lebih memilih bercanda dengan temannya daripada membuka-buka buku. Kalau diembel-embeli tugas, barulah mereka membaca dan itupun hanya satu bacaan saja, dan itupun lagi mereka selalu mencari bacaan yang paling pendek yang ada dalam majalah atau buku yang dipilihnya.
Begitulah anak-anak sekarang! Dan untuk mengubah itu, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Lalu sayapun memikirkan metode lain. Pertama-tama, sebelum mengajar saya selalu mendongeng untuk anak-anak. Dongeng apa saja. Dari mulai Si Kabayan, Kancil dan Buaya, sampai Abu Nawas. Selalu saya awali dengan kalimat: "Malam tadi ibu membaca dongeng......" Dan mulailah saya mendongeng. Ternyata anak-anak menyukainya. Saya mendongeng di depan anak-anak kelas tiga SMP lho! Dan saya selalu menceritakan dongeng-dongeng anak kecil. Tapi ketika saya tanya, pernah mendengar dongeng ini? Mereka selalu kompak menjawab: "Beluuuum Bu...!"
Hasilnya, mereka selalu ketagihan. Setiap kali saya masuk ke kelas, mereka selalu kompak teriak: "Dongeng dulu Bu...!"
Nah, setelah beberapa minggu berjalan, saya mulai berkelit: "Aduh, malam tadi ibu lupa tidak membaca dongeng, bagaimana kalau kita baca saja dongengnya di sini?" Lalu sayapun mengeluarkan buku-buku cerita, dan mulailah saya membaca. Ternyata, anak-anak antusias sekali mendengarkan saya membaca. Saya mebacakan buku mulai dari cerita-cerita lucu yang menghibur sampai kisah-kisah teladan Nabi dan parasahabatnya. Lima belas menit sebelum belajar, selalu saya gunakan untuk membaca di depan anak-anak. Nah, setelah beberapa minggu berjalan, sayapun cari alasan lain: "Kalau ibu yang membaca terus, rasanya cape sekali. Bagaimana kalau mulai sekarang, kita bergiliran membaca."
Dan begitulah, sampai akhir semester, setiap anak, pasti pernah membacakan sebuah cerita untuk teman-temannya di kelas. Dan ternyata, anak-anak megatakan, mereka sangat suka dengan kegiatan belajar lima belas menit pertama itu.
Mungkin saya bisa melakukan hal itu karena saya guru bahasa. Tapi, apakah salah, kalau setiap guru, bidang studi apapun yang dipegangnya, setiap kali sebelum mengajar menyisihkan waktunya lima belas menit saja untuk mengajak anak membaca? Guru Matematika, sebelum mengajarkan rumus, membacakan atau mengajak anak membaca cerita yang ringan dulu, kayaknya akan membuat anak enjoy belajar rumasnya ya? Kayaknya enggak bakalan mengurangi kualitas mengajarnya tuh! Memang sih tidak ada yang menjamin minat baca anak akan naik secara drastis, tapi setidaknya anak diberi kesempatan untuk tahu dan merasakan, bahwa membaca itu menyenangkan dan banyak manfaatnya! Okey bapa dan ibu guru di seantaro tanah air? Mari kita mulai membaca dan ajaklah serta murid-murid anda!
Rabu, 02 Juli 2008
Minggu, 29 Juni 2008
tentang aq
Mei yang baru lalu, usiaku menginjak 37 tahun. Mungkin pada usia segitu aq jadi tambah bijak ya, makanya aq mulai betah dengan pekerjaan yang mapan. Ya gitu dech, aq mulai betah dengan tugasku sebagai guru. Padahal dulunya aq suka banget dengan tantangan, hingga enjoy menjalani hidup sebagai wartawan pada media Sunda Majalah Mangle, majalah berbahasa Sunda satu-satunya di seluruh dunia. Enggak denk, sekarang ada saingan dengan terbitnyaMajalah Sunda Midang. Setelah mengikuti jejak sang suami pulang ke kota Subang, aq mulai berpikir untuk pindah haluan, dan jadilah aq bisa manfaatin ilmu yang dulu ku dapat dari bangku kuliah sebagai guru bahasa Sunda di SMPN 4 Subang. Tapi untuk urusan tulis-menulis dalam bahasa Sunda, kayanya gak bisa diputusin begitu saja, mungkin udah ngedarah daging kali ya. Jadi kalau ada kesempatan selalu aq gunakan untuk menulis carpon, sajak atau esay. Lumayan lah, ada yang dapet penghargaan, ada juga yang dibukukan dalam antologi. Cuma sekarang lagi macet idenya, kebanyakan ngurus anak-anak di sekolah kali ya jadi ide nulisnya cenderung menurun.
Langganan:
Postingan (Atom)